Senin, 09 April 2012

Manusia dan Keadilan


Keadilan
Arti dari keadilan itu sendiri adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori nya, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang sangat besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”. Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai. “Kita tidak hidup di dunia yang adil”. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.

            Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama, kalau tidak sama, maka masing – masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut disebut tidak adil.

            Keaadilan oleh Plato diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan diri dan perasaannya dikendalikan oleh akal. Socrates memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut Socrates, keadilan akan tercipta bilamana warga Negara sudah merasakan bahwa pemerintah sudah melakukan tugasnya dengan baik. Mengapa diproyeksikan kepada pemerintah ? sebab pemerintah adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika masyarakat. Kong Hu Cu berpendapat bahwa keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya. Pendapat ini terbatas pada nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau disepakati.

Keadilan menurut Islam.
” Sesungguhnya telah Kami utus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Al-Mizan supaya manusia dapat menegakkan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasulNya sedangkan Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat Lagi Maha Perkasa.” (Al-Qur’an 57:25)
” Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berbuat adil dan berbuat ihsan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” (Al-Qur’an 16:90)
Itu adalah dua ayat al-Qur’an dari dua surah yang berbeza. Pertama, ayat 25 Surah al-Hadid; kedua ayat 90 Surah al-Nahl. Keduanya, di samping ayat-ayat pada surah-surah yang lain, membahas tema yang sama yaitu keadilan. Pada ayat yang pertama kita dapati bahawa tujuan seluruh agama samawi adalah menegakkan neraca keadilan. Pada ayat yang kedua, Allah SWT menyuruh berbuat keadilan dan ihsan dengan memandang keduanya sebagai rukun  dan dasar Islam, sekaligus menjelaskan ruh Islam, iaitu melarang kekejian, kemungkaran dan kezaliman.
Keadilan Dan Kebaikan Dalam Pandangan Sosial
Bagaimanakah menurut pandangan sosial secara umum, yang memandang individu-individu sosial sebagai satu kesatuan?
Apabila kita memandang permasalahan tersebut dari sudut pandangan ini, maka kita akan mendapati bahawa keadilan itu lebih tinggi kedudukannya dari kebaikan.
Keadilan di dalam masyarakat sama dengan asas yang di atasnya didirikan sebuah bangunan sedangkan ihsan sama dengan hiasan sebuah bangunan tersebut dengan cat dan warna-warnanya. Maka kita harus, pertama, membangun asas dulu kemudian baru mengecatnya dan juga memperindahkannya. Apabila bangunan ini telah siap tetapi lemah asasnya maka apakah faedahnya warna dan hiasan itu? Sedangkan apabila asas bangunan itu kukuh, maka tentunya bangunan itu dapat dihuni walaupun belum diperindahkan dan tanpa hiasan. Ada ketikanya satu bangunan itu berlebihan dalam hiasan dan kemewahan lahiriahnya namun asasnya tidak kukuh. Dalam keadaan seperti itu bangunan ini boleh runtuh apabila ditimpa bencana alam seperti hujan lebat.
Selanjutnya, kebaikan, ihsan dan itsar yang pada suatu ketika baik dan bermanfaat serta memiliki keutamaan yang besar di dalam pandangan pelaku kebaikan dan ihsan itu, tetapi pada suatu ketika yang lain tidak baik bagi mereka yang menerima kebaikan dan ihsan tersebut. Ini termasuk yang harus kita perhitungkan sebagaimana kita harus memperhitungkan perhitungan masyarakat. Apabila kita tidak menjaga keseimbangan sosial, dan membiarkan masalah-masalah berjalan tanpa pertimbangan, maka keutamaan moral ini juga kadang-kadang mengakibatkan kemalangan umum dan kehancuran masyarakat. Oleh kerana itu sedekah yang banyak, wakaf-wakaf yang melimpah dan nazar-nazar yang berlebihan akan menjadi seperti banjir yang memporakperandakan masyarakat, ketika ia terbukti mengakibatkan kemalasan orang dan menciptakan masyarakat penganggur yang rusak fikirannya akibat tindakan kebaikan yang berlebih-lebihan itu. Kerugian seperti ini tidak lebih sedikit dari kerugian akibat serangan pasukan tentera musuh yang biadab. Itulah yang dimaksudkan dengan ayat yang mulia yang bermaksud:
” Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini adalah seperti perumpamaan angin yang mengandungi hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-Qur’an 3:117)
Pengaturan masyarakat itu tidak mungkin dapat dilakukan dengan kebaikan dan ihsan kerana asas sistem sosial itu adalah keadilan. Sebenarnya kebaikan dan ihsan itu apabila keduanya tidak dipertimbangkan dan ditentukan akan mengeluarkan permasalahan dari kedudukannya.
Dari apa yang telah disebutkan di atas, nampak jelas bahawa pertanyaan-pertanyaan itu muncul  dari dimensi etika dan individual. Hal ini dapat dibenarkan. Tetapi sudut pandangan penting yang lain ialah dimensi sosial persoalan ini, yang selama ini hanya sedikit tertanam dalam benak kita dan tidak banyak mengundang perhatian kita. Ini kerana manusia belum mengetahui pentingnya kajian-kajian sosial dan intinbath (pengambilan kesimpulan) undang-undang yang mengatur masyarakat, kecuali pada tempoh kebelakangan ini. Dahulu, hanya sedikit daripada ulama kita yang tahu dan sedar akan hal tersebut kerana hal itu belum menjadi ilmu yang terumuskan. Oleh sebab itu dimensi yang diperhatikan hanya dimensi etika-individual sahaja.
Keadilan Adalah Falsafah Sosial
Maksud kenyataan di atas adalah untuk memalingkan pandangan kepada kacamata yang dengannya Imam Ali AS memandang keadilan. Apakah beliau melihat kepadanya dari sudut individu sahaja atau lebih banyak dari dimensi sosialnya? Dengan yang demikian dari segi ucapan Imam Ali AS dan dari segi perbuatan-perbuatannya khususnya perbuatan-perbuatan yang ditegaskan di dalam untaian hikmah-hikmahnya, menunjukkan jelas bahawa keadilan dalam perspektif Imam Muttaqin ini merupakan falsafah sosial Islami dan berada di atas peringkat teratas pemikirannya iaitu dengan memandangnya sebagai undang-undang Islam yang terpenting dan paling mulia.
Dunia Keadilan Yang Luas dan Dunia Kezaliman Yang Sempit
” Sesungguhnya di dalam keadilan itu terdapat keluasan dan siapa yang baginya keadilan itu sempit maka kezaliman pun baginya lebih sempit.”
Sesungguhnya keadilan mencapai dan mencakup semua. Lingkungan yang satu-satunya dapat mengumpulkan manusia adalah keadilan. Manusia yang tamak dan rakus tidak akan pernah berasa puas dengan haknya yang memang terbatas. Maka ia berasakan keadilan itu sempit dan menindasnya sehingga tidak ragu lagi bahawa sempitnya penindasan dan kezaliman baginya, terasa lebih berat.
Penindasan yang diderita oleh manusia terdiri di atas dua perkara:
Pertama: yang disebabkan  oleh lingkungan dan masyarakat, yang bersifat fizikal, seperti pecutan  atas kulit, atau pengasingan ke penjara.
Kedua  : yang menimpa ruhani manusia dalam bentuk kejahatan hasad dengki, iri hati, balas dendam, tamak, dan rakus.
Sekiranya dia dalam masyarakat di tegakkan keadilan, nescaya manusia akan aman dari kejahatan fizikal, kerana seseorang tidak akan boleh melanggar hak orang lain. Dengan demikian, sekaligus orang tidak akan menindas dan meyempitkan ruh orang lain. Adapun apabila keadilan tidak ditegakkan, maka yang terjadi adalah hukum rimba, kezaliman, kekejian dan perampasan. Sesiapa berasa puas dalam penindasan unsur-unsur ruhaniah  dalam ketamakan dan kerakusan maka ketamakan mereka itu akan bertambah sejalan dengan bertambahnya penindasan unsur-unsur ruhaniah mereka.
Macam-macam keadilan
Keadilan Legal atau Keadilan Moral
Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dan masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasamya paling cocok baginya (The man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan, Sunoto menyebutnya
keadilan legal.
Keadilan timbul karna penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang
selaras kepada bagian-hagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud
dalam masyarakat bilamana setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara baik.

Keadilan Distributif
Aristoles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally). Sebagai contoh, Ali bekerja 10 tahun dan Budi bekerja 5 tahun. Pada waktu diberikan hadiah harus dibedakan antara Ali dan Budi. yaitu perbedaan sesuai dengan lamanya bekerja. Andaikata Ali menerima Rp. 100.000.- maka Budi harus menerima. Rp 50.000. Akan tetapi bila besar hadiah Ali dan Budi sama justru hal tersebut tidak adil.

Keadilan Komutatif
Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam rnasyarakat Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.

Opini:
Semua manusia itu berhak untuk mendapatkan keadilan dalam hidupnya, karena tanpa keadilan hidup itu tidak akan indah dan bahagia. Maka tanamkan kepada diri kita keadilan supaya tidak ada permusuhan dan kecemburuan terhadap sesama. Jadi bersikaplah adil seperti kau meletakan barang pada tempatnya.

Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar